Sabtu, 08 Oktober 2011

Dominasi Ternyata Bisa Menghancurkan Keluarga


Dalam rumah tangga, seharusnya suami-istri memiliki hak sekaligus wewenang yang sederajat, tidak ada yang lebih dominan, pun tidak ada yang lebih rendah.

Jika ditinjau secara tradisional, dengan kondisi sosial Indonesia, terutama pandangan agama, laki-laki harus berperan sebagai pemimpin dalam keluarga. Konsekuensinya, laki-laki harus terampil mengarahkan tingkah laku anggota keluarga, memimpin dalam proses pengambilan keputusan dan menjadi pengetuk palu mengenai keputusan mana yang akan diambil.

Namun demikian, yang jauh lebih mengemuka adalah bahwa sebagai pimpinan harus dihormati, diistimewakan, dipatuhi perintahnya, juga dituruti kemauannya. Menjadi gawat kalau segala ucapan kepala keluarga harus selalu dianggap sebagai hal yang baik dan kebenaran.

Di lain sisi, seorang istri dapat berperan dominan dalam keluarga karena berbagai hal. Misalnya, suami sering bertugas ke luar kota, sehingga istri seringkali harus mengambil keputusan sendiri. Suami tidak peduli pada aspirasi anggota keluarga, sehingga istri akhirnya memutuskan sesuatu yang dapat ditanggulanginya sendiri.

Dominansi salah satu unsur keluarga dapat berakibat pengabaian unsur keluarga yang lain apabila tidak disertai dengan sikap yang bijaksana. Seorang istri yang bersemangat menentukan segalanya, mengatur semua sendiri akan membuat suami menjadi tergantung dan anak-anak tidak tumbuh menjadi pribadi yang mandiri.

Dominansi bersifat menekan, hanya mementingkan diri sendiri, tidak ada usaha untuk empati atau memperhatikan kebutuhan orang lain. Suami yang berkeyakinan bahwa suami harus dominan di dalam keluarga, tentu saja keberatan. Akibatnya akan terjadi adu kekuatan, ingin saling menguasai yang pada hakikatnya bukanlah situasi yang diharapkan muncul dalam rumah tangga.

Dalam situasi keluarga dengan salah satu orangtua dominan, maka lebih baik membicarakan dengan pasangannya, apabila ada hal-hal yang tidak berkenan terjadi dalam keluarganya. Usahakan tidak memfokuskan diri pada isu kekuasaan, dominansi ataupun penghargaan.

Kalau ada konflik dalam keluarga, tanda-tandanya bisa amat bervariasi. Biasanya suami menjadi depresi, atau karena tidak terpenuhi kebutuhan sebagai kepala di dalam keluarga sebagaimana umumnya, lalu mencari kompensasinya di luar keluarga misalnya menjadi amat dominan dalam pergaulan dengan teman, organisasi atau pekerjaan, menjadi amat ingin dihargai atau berkuasa di lingkungan lain.

Dalam hal istri dominan kembali lagi introspeksi dan tinjau ulang tujuan berkeluarga. Apakah memang sejak awal keluarga itu dibentuk untuk memenuhi kebutuhan dominansi atau ada pengaruh sosial budaya yang kemudian mengubah isteri atau suami mendadak menjadi ingin dominan, haus kekuasaan, ingin disitimewakan, ingin menentukan segala sesuatu atau dihormati berlebihan dalam keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar